Jumat, 16 Juli 2010

kelas bilingual menuju rintisan SBI

Oleh: Enny Purnamaningrum *

KEBERADAAN kelas bilingual mengadopsi pada kebijakan Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah mengenai pengembangan kelembagaan pendidikan di SMP, Alasan umum pentingnya diadakan kelas bilingual menuju rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI ) adalah era globalisasi menuntut kemampuan daya saing yang kuat dalam berbagai bidang. Seperti bidang teknologi, manajemen, dan sumber daya manusia.

Selain itu, memenuhi amanat pasal 150 ayat 3 Undang-undang No 20/2003. “ pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu-satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangjkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional. Penyelanggaraan kelas bilingual menuju kelas SBI didasari filosofi eksistensialisme dan esensialisme.

Dengan adanya kelas bilingual di SMP yang bertaraf Standar Nasional, secara tidak langsung sekolah menyiapkan peserta didiknya berdasarkan Standar Nasional Pendidikan ( SNP ) Indonesia dan tarafnya Internasional. Sehingga lulusannya memiliki kemampuan berdaya saing internasional. SNP meliputi delapan standar, yaitu kompetensi, lulusan, isi, proses, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pembiayaan, pengelolaan, dan penilaian. Dan “ X “ adalah SNP yang diperkaya, dikembangkan, diperluas, dan diperdalam melalui adaptasi atau adopsi terhadap standar pendidikan yang dianggap reputasi mutunya diakui secara internasional.

Filosofi eksistensialisme berkeyakinan bahwa pendidikan harus menyuburkan dan megembangkan eksistensi peserta didik seoptimal mungkin melalui fasilitas yang dilaksanakan melalui proses pendidikan yang bermartabat, pro perubahan ( kreatif, inovatif, dan eksperimentatif ). Menumbuhkan dan mengembangkan bakat, minat dan kemampuan peserta didik. Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia harus memperhatikan perbedaan kecerdasan, kecakapan, bakat dan minat peserta didik. Jadi, peserta didik harus diberi perlakuan secara maksimal untuk mengaktualkan potensi intelektual, emosional, dan spiritualnya. Para peserta didik tersebut merupakan aset bangsa yang sangat berharga dan merupakan salah satu faktor daya saing yang kuat, yang secara potensial mampu merespon tantangan globalisasi. Sedangkan filosofi esensialisme menekankan bahwa pendidikan harus berfungsi dan relevan dengan kebutuhan. Baik kebutuhan individu, keluarga maupun kebutuhan berbagai sektor dan sub-sub sektornya, seperti lokal, nasional maupun internasional. Terkait tuntutan globalisasi, pendidikan harus menyiapkan sumber daya manusia Indonesia yang mampu bersaing secara internasional.

Bagi sekolah yang telah tiga tahun sebagai Sekolah Standar Nasional ( SSN ), dapat dilanjutkan dengan rintisan SBI oleh pusat atas dasar pemenuhan kriteria yang telah ditetapkan dan kebijakan Depdiknas tentang renstra SBI. Adapun pengembangan sekolah menuju rintisan SBI harus sudah mengembangkan program SSN dengan memenuhi kriteria delapan aspek SNP seperti tersebut diatas. Untuk SSN yang ingin mengembangkan rintisan SBI yang menjadi persiapan khusus adalah pengembangan kelas bilingual.

Penyelenggaraan kelas bilingual menuju rintisan SBI berlandaskan pada dasar hukum dan kebijakan dalam Undang-undang ( UU ) No 20/2003 tentang sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal 50 ayat 2, pemerintah menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional. Ayat 3, pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu sekolah pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi sekolah yang bertaraf internasional.

Tujuan diadakan kelas bilingual untuk memenuhi salah satu syarat untuk rintisan SBI dan menghasilkan lulusan SMP yang memiliki kompetensi berkelas nasional dan internasional sekaligus. Sedangkan yang menjadi dasar pengembangan kelas berbasis ICT dan dipayungi MBS.

Mengenai pengembangan standar pembiayaan kelas bilingual tidak jauh beda dengan rintisan SBI, yaitu sharing pusat ( BOS ) dan dari pemerintah kabupaten/kota. Juga peran serta komite sekolah, masyarakat, dan orang tua siswa. Adapun yang menjadi pengembangan budaya kelas bilingual adalh budaya mutu, budaya sikap-prilaku, budaya disiplin, budaya kerja, budaya efisiensi, budaya professional yang golnya mengarah pada rintisan SBI.

Di samping itu, yang menjadi standar output ( keluaran ) kelas bilingual adalah menguasai dan terampil menggunakan ICT. Mampu debat dengan bahasa Inggris. Mampu menyelesaikan tugas-tugas dan mengumpulkan portopolio dengan baik. Mampu menyampaikan /mendemonstrasikan tugas-tugas dari guru/sekolah. Mampu menulis dan mengarang dengan bahasa asing atau dengan bahasa Indonesia yan gbaik dan benar.

Yang menjadi prinsip umum pengembangan kelas bilingual, yaitu berpedoman pada prinsip: kelas bilingual = kelas reguler +. Kebutuhan dan prakarsa sekolah ( demand driven and bottom-up ) menerapkan MBS dalam mengelola sekolahnya yang disertai tata kelola yan gbaik. Menerapkan proses belajar mengajar yang pro perubahan, yaitu yang mampu menumbuhkan dan mengembangkan daya kreasi, inovasi dan nalar.

Sebagai suatu sistem pendidikan, setiap SSN yang sudah memasuki tahun ketiga dan berkeinginan merintis SBI, setiap sekolah harus memenuhi komponen yang sekaligus menjadi sasaran untuk pencapaian tujuan pendidikan itu sendiri. Itu terdiri dari komponen akreditasi, kurikulum, proses pembelajaran, penilaian, komponen pendidik, tenaga kependidikan, saran prasaran, pengelolaan, serta komponen pembiayaan pendidikan. Dalam praktek penyelenggaraannya, semua komponen tersebut merupakan obyek penjamin mutu pendidikan.

Maksudnya bahwa mutu pendidikan yang akan dicapai sekolah obyeknya adalah komponen-komponen pendidikan tersebut. Tingkatan dan kualifikasi kelas bilingual adalah mutu pendidikan yang akan dicapai setara dengan tingkatan SBI, yang berada didalam negeri.

Bagi sekolah yang meyelenggarakan kelas bilingual untuk menuju rintisan SBI diharapkan mampu memberikan atau memenuhi jaminan akan efisiensi pendidikan sebagai salah satu indikator-indikator kinerja kunci tambahan. Sehingga publik akan memiliki tingkat kepercayaan tinggi dan citra yang terbangun di publik meningkat. Selanjutnya akan menumbuhkan rasa tanggung jawab bersama di masyarakat terhadap pentingnya pendidikan yang merintis mwnuju SBI.

Sekolah yang menyelenggarakan kelas bilingual secara otomatis memerlukan biaya yang lebih tinggi. Karena target pencapaian kompetensi lulusan juga tinggi, yaitu setara dengan SBI, bukanlah disebut pendidikan mahal. Kesan pendidikan yang mahal pada dasarnya tidak ada, yan gsebenarnya terjadi pendidikan efisien atau tudak efektif.

Karena itu diperlukan sinergi antara berbagai pihak, seperti sekolah, komite sekolah, Beppeda ( provinsi dan kabupaten/kota ) DPRD Tingkat I dan II, Dinas Pendidikan kabupaten/kota, Dinas Pendidikan Provinsi, Direktorat Pembinaan SMP, serta pihak lain para pemangku kepentingan. Secara bertahap, sekolah bersama komite sekolah yang didukung oleh daerahnya masing-masing ammpu secara mandiri menyelenggarakan pendidikan secara efektif dan effisien.*

Penulis adalah guru SMPN 1 Banyuwangi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar